Dhamma itu Indah pada awalnya, Indah pada Tengahnya, dan Indah pada Akhirnya...

Saturday 17 March 2012

PIKIRAN MONYET - AJAHN BRAHM



Pada suatu hari Waisak disebuah wihara Sri Lanka - pada hari itu begitu banyak orang datang ke wihara - seekor monyet datrang dari rimba ke wihara, mencari-cari sesuatu untuk dimakan. Karena ada begitu banyak orang, pasti diantara pengunjug ada yang menjatuhkan sesuatu, dan para monyet begitu cekatan dalam menggambil mangga atau pisang dan memakannya gratis


Jadi kapan pun ada perayaan, para monyet selalu datang ke wihara. Monyet yang satu ini datang ke wihara saat melihat seorang biksu tengah berceramah. Lalu, ia mendengar biksu itu mengucapkan “pikiran monyet”.


“Pikiran monyet? Aha, ini menarik. Biksu ini sedang ceramah mengenai diriku.”

Ia pun pergiu ke jendela untuk mendengarkan. Namun ia mendengar apa yang biksu ini katakan mengenai pikiran monyet: bahwa pikiran monyet itu jelek, buruk, harus dienyahkan; bahwa jika Anda memiliki pikiran monyet, Anda bukanlah meditator, dan Anda seharusnya berlatih hingga batin menjadi lebih baik.

Ketika monyet ini mendengar pikiran monyet adalah hal yang jelek, ia menjadi sangat gusar. Monyet pun punya perasaan. Ia berkata, “Biksu ini! Dia melecehkanku! Dia bilang pikiran monyet itu jelek! Apa salahnya punya pikiran monyet? Toh monyet terlahir dengan batin seperti itu! Lalu kenapa sih manusia ini berusaha menyingkirkan pikiran monyet? Aku suka pikiran monyet! Aku akan ajukan protes pelecehan nama baik kaum monyet ini?!”

Monyet ini kembali ke hutan, menemui pemimpin kelompoknya, dan mengeluh, “Bos seharusnya tadi dengar apa yang biksu di wihara itu bilang mengenai kita! Mereka bilang pikiran monyet itu buruk, jahat, dan payah. Pikiran monyet harus disingkirkan! Dia merendahkan kita, dia menghina kita!”

Kemudian semua monyet lain juga jadi gusar mendengar ini. “Kita tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja! Ini tak bisa dibiarkan! Kita akan protes ke Komisi Hak Asasi, Amnesti Internasional, dan World Wildlife Fund.” Lalu mereka mulai meloncat, menandak-nandak ke segala arah, marah, sampai pemimpin monyet menghentikan mereka.

Pemimpin monyet berseru, “Stop! Lihat, kalian berlompatan liar ke sana kemari! Biksu itu benar! Itulah pikiran monyet! Meloncat ke sana kemari, mengeluh setiap saat, tidak bisa duduk diam”.

Seluruh monyet itu cukup arif untuk memahaminya, mereka mengatakan, “Ya ampun! Bos benar. Pikiran monyet itu memang jelek.”Lalu mereka semua jadi murung. “Apa yang bisa kita perbuat? Kita lahir dengan pikiran monyet. Bagaimana kita bisa menyingkirkan pikiran monyet?”

Lalu salah seekor monyet berkata, “Dengar! Dengar! Aku juga pernah ke wihara itu. Aku pernah lihat cara orang-orang menyingkirkan pikiran monyet dengan meditasi. Sebagai monyet, kita juga harus bermeditasi. Saat itu, batin kita akan jadi batin yang damai, dan ketika orang melihat kita, mereka juga ingin memiliki pikiran monyet yang damai. Ayo kita bermeditasi!”

Semua monyet berlompatan riang lagi, “Ya! Ayo meditasi! Mari kita meditasi!” Pemimpin monyet berteriak, “Diam semua! Itu kan pikiran monyet lagi! Terus, bagaimana cara kita bermeditasi?”

Monyet yang tadi berkata lagi, “Gampang sekali. Aku sudah melihat para biksu melakukannya. Letakkan kaki kananmu di atas kaki kiri, telapak tangan kananmu di atas telapak tangan kiri, punggung tegak, kepala agak menunduk. Aku tak tahu apa yang mereka kerjakan berikutnya, tapi mereka duduk seperti itu untuk waktu yang lama.”

Monyet-monyet itu juga melihat para biksu duduk di atas bantal kecil, maka mereka pergi ke hutan, mengumpulkan daun dan rumput, lalu membuat bantal duduk untuk mereka sendiri. Kemudian mereka semua duduk dan itulah pertama kalinya ad monyet bermeditasi.

Mereka meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, telapak tangan kanan di atas telapak tangan kiri, punggung tegak, kepala agak menunduk, dan mulai bermeditasi. Rimba tak pernah sesenyap itu… selama satu menit.

Tiba-tiba seekor monyet mengangkat tangan, “Permisi! Maaf! Aku baru saya terpikir nih! Pagi ini kita kan berencana pergi ke kebun pisang di sana, lalu mencuri pisang untuk makan siang. Aku tak bisa menyingkirkan pikiran itu, pikiran itu terus mengganggu meditasiku. Jadi rencanaku seperti ini: kita pergi saja ke kebun pisang itu, curi pisangnya, selesaikan urusan itu dahulu, supaya kita tak usah memikirkan soal itu lagi.”

Para monyet lain berseru, “Yoik! Ayo selesaikan urusan itu dulu. Aku juga terpikir seperti itu, lho!”

Mereka semua bangkit dari tempat duduk mereka, berlompatan dan berayun-ayun menuju kebun pisang, mencuri banyak pisang, membawanya kembali ke rimba. Saat itu belum tiba waktu makan siang, mereka memutuskan untuk mencuri pisang saja dahulu tapi tidak memakannya sampai tiba waktunya. Mereka menggumpulkan pisang dalam tumpukan besar, lalu kembali ke alas duduk mereka.

Mereka mulai bermeditasi lagi. Rimba kembali sunyi… kali ini hanya 30 detik.

“Interupsi!Interupsi!” ujar salah satu monyet, “Aku dari tadi terpikir bahwa sebelum kita bisa makan pisang, kita kan harus menguliti pisang dahulu. Bisakah kita menyelesaikan urusan ini dahulu? Kita tidak makan, hanya mengulitinya saja kok.”

Semua monyet lain setuju, “Yoik! Dari tadi aku pun berpikir begitu. Ayo kupas kulit pisang!!”

Mereka pun menguliti pisang-pisang itu, mereka tidak makan pisangnya, sebab belum waktunya makan siang. Mereka menumpuk semua pisang itu menjadi satu tumpukan besar.

Lalu mereka kembali bermeditasi.

Baru saja mereka memejamkan mata, “Mohon izin! Aku punya ide! Sebelum makan pisang, kita harus memasukkannya ke mulut kita dahulu. Mari kita masukkan ke mulut kita. Bereskanlah hal ini, barulah kita bisa meditasi!.”

“Yoik! Ide bagus!” Seru monyet lainnya. Jadi mereka masing-masing mengambil sebuah pisang, ada beberapa yang mengambil dua atau tiga- Anda tahulah bagaimana rakusnya monyet, lalu mereka memasukkan pisang ke dalam mulut mereka, namun belum memakannya….

Mereka kembali ke bantal meditasi mereka, dan mulai berme….

Bisakah mereka bermeditasi dengan pisang menjejal mulut mereka? Jelas tidak. Ketika semua monyet menutup mata, mereka semua mulai mengunyah pisangnya!

Itulah pikiran monyet!”Ayo bereskan urusan ini dahulu, baru aku bisa meditasi!” Atau, “Ayo selesaikan pekerjaan ini dahulu, baru aku bisa jadi baik.” “Ayo dapatkan satu miliar dahulu di rekening, baru aku bisa beramal.”

Tentu saja tidak begitu! Jika serba harus mengerjakan sesuatu dahulu, itu tak akan pernah selesai, kan? Apa yang benar-benar penting bukanlah makan pisang, tapi meditasi. Lihatlah, apa yang lebih penting? Mendapat banyak uang atau menikmati hidup? Mana yang lebih penting: menyelesaikan semua pekerjaan sebelum akhir pekan atau bersantai dan melewatkan waktu bersama keluarga?

Apa hal yang benar-benar penting dalam hidup? Anda sudah tahu, kok. Melewatkan waktu bersama dalam suatu hubungan, atau menemani anak-anak Anda, menjaga kesehatan Anda agar tidak terlampau stres, menjadi bajik, menjadi dermawan, kehidupan spiritual Anda, itulah yang benar-benar penting. Segala hal lainnya hanyalah urutan kedua.

Jika Anda tahu bagaimana menjalani hal-hal penting terlebih dahulu: kebaikan, kedamaian, kasih, kedermawaan, maka hal-hal selain itu akan menyusul belakangan. Anda tidak akan menjadi seekor monyet yang hanya berayun dari satu pohon urusan ke pohon urusan berikutnya, tanpa pernah menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati dalam hidup.

Ajahn Brahm - Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More