Tuesday 27 December 2011

Berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha oleh Ajahn Brahm



Cerita dari tradisi Hindu berikut ini telah saya adaptasikan sehingga menjadi bernuansa Buddhis.

Ada seorang pengusaha kaya yang selalu sibuk mengurusi bisnisnya. Dia sangat egois dan kikir serta tidak pernah mau menolong orang lain. Pada suatu hari, ketika dia sedang berkunjung ke sebuah desa untuk menagih hutang dari pelanggannya, tanpa sengaja dia melewati sebuah wihara. Tampak seorang bhikkhu sedang memberikan khotbah Dhamma pada sekelompok umat awam. Si pengusaha pun berhenti sejenak untuk mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh bhikkhu.

"Saudara-saudara sekalian, hidup ini tidak kekal. Setiap orang, termasuk saya dan anda semua, pada akhirnya akan mati dan meninggalkan seluruh harta kekayaan kita, bahkan tubuh kita ini juga. Jadi mulai saat ini berlindunglah pada Buddha, Dhamma dan Sangha, yakni dengan berusaha mengendalikan diri untuk tidak berbuat jahat, memperbanyak berbuat kebajikan dan mempraktikkan kedermawanan, serta rajin berlatih meditasi untuk mengkondisikan pikiran agar ketika tiba saatnya kita meninggalkan tubuh ini, pikiran kita akan tetap murni dan jernih sehingga kita bisa dilahirkan kembali di alam kehidupan yang lebih baik."

Mendengar ucapan sang bhikkhu, si pengusaha pun terpana. Dia merasa cemas setelah mendengar kata-kata bhikkhu tersebut. "Wah gawat! Berarti pada saat aku mati nanti, jika pikiranku masih sama seperti sekarang ini, pasti aku bakal dilahirkan kembali di neraka!

Tidak bisa! Aku harus mensucikan pikiranku mulai saat ini juga!" katanya di dalam hati. "Tetapi bagaimana mungkin? Mendermakan hartaku, yang aku peroleh dengan susah payah selama ini, kepada wihara atau orang lain? Enak saja! Atau bermeditasi setiap hari di vihara? Lalu siapa yang akan menjalankan bisnisku yang sedang berkembang pesat itu?" gerutunya lagi.

Dia begitu risau dan berusaha mencari jalan keluarnya. Namun kerisauannya itu tidak berlangsung lama. Dengan pengalamannya sebagai seorang pengusaha ulung, dia pun memutuskan untuk mencoba "mengakali sistem". Dan dengan penuh percaya diri, dia pun kembali ke rumahnya.

Beberapa tahun kemudian, isteri pengusaha tersebut pun hamil dan melahirkan anak pertama mereka. Si pengusaha menamakan anaknya "Buddha".

Dan setahun kemudian, anak keduanya pun lahir dan dia namakan "Dhamma", dan seterusnya di tahun berikutnya lahirlah anak ketiga yang dia beri nama "Sangha".

Sambil tersenyum dia berkata, "Akhirnya aku memiliki anak-anak yang bernama Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan seperti yang dibilang bhikkhu itu tempo hari, kalau aku bisa mengingat Buddha, Dhamma dan Sangha pada saat ajalku tiba, maka aku akan dilahirkan di alam yang lebih baik. Dan aku pasti bisa mengingatnya, karena ketiga anakku akan berada di sisiku pada saat itu. Dan yang terpenting lagi, aku tidak perlu menyumbangkan hartaku atau bermeditasi, hihihi."

Tahun demi tahun berlalu, dan ketika anak-anaknya sudah dewasa, si pengusaha yang sudah tua renta pun akhirnya jatuh sakit. Menyadari bahwa ajalnya sudah hampir tiba, dia memanggil ketiga orang anaknya untuk mendampinginya di saat-saat terakhir.

Dengan suara yang lemah, dia berkata," Anak-anakku, aku akan segera meninggalkan kalian. Biarkan aku memanggil nama kalian satu persatu untuk terakhir kalinya supaya aku bisa pergi ke surga. Oh Buddha, Dhamma, Sangha."

Setelah memanggil nama ketiga anaknya tersebut, dia pun tersenyum puas karena dia yakin telah mengingat Buddha, Dhamma dan Sangha dengan baik. Sambil memejamkan matanya, dia menanti saat-saat kematiannya tiba.

Namun beberapa saat kemudian, tiba-tiba dia membuka matanya kembali dan berteriak, "Hei!, sekarang kalian bertiga semua ada di sini, lalu siapa yang menjaga toko dan gudang kita?" Dan tepat pada saat itu pula, dia meninggal dunia.


===============
Kondisi pikiran terakhir kita tidak bisa ditentukan secara instan dengan "mengakali sistem" seperti itu, melainkan tergantung pada apa yang telah kita pikirkan dan kerjakan sepanjang hidup kita.
===============

Sumber : "Laughing All The Way To Nibbana" , 'Horeee! Guru si Cacing Datang!'

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More