Kawan, pernahkah engkau pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, ke mal-mal, dan lihatlah betapa besar, penuh barang-barang dan manusia di sana? Tiada hari yang tiada ramai, dan tiada hari yang tiada memerlukan segala macam kebutuhan. Pernahkah engkau pikirkan, mengapa kita manusia modern ini merasa memerlukan sangat banyak kebutuhan? Pernahkah engkau bandingkan kehidupan kita (orang kota) yang begitu banyak memiliki kebutuhan, dengan kehidupan orang-orang desa dan sederhana, yang tak pernah terlalu sibuk untuk menikmati mekarnya mawar, atau mencium wanginya bunga kopi yang sedang merekah, atau wangi tanah kemarau yang tersiram hujan senja hari?
Tampak jelas sekali dari begitu besarnya pusat-pusat perbelanjaan, dari begitu banyaknya barang-barang yang diperjualbelikan, orang-orang kota seperti kita ini seakan-akan tiada habis-habisnya memiliki kebutuhan. Dari kebutuhan dasar berupa makan-minum, pakaian dan tempat tinggal, kita beranjak menuju kebutuhan-kebutuhan lain semacam hiburan (kehidupan kota membuat kita mudah menua dan mudah sakit), pendidikan (persaingan yang ketat cuma menyisakan mereka yang pintar), aksesori (penampilan luar adalah nilai utama, soal mutu bisa direkayasa), transportasi, komunikasi, dan sebagainya.
Kawan, kita sering melihat di kota mana pun, selalu ada kesibukan yang luar biasa. Lalu lintas macet karena banyaknya mobil, meskipun jalan raya sudah dibuat sampai bertingkat-tingkat dan selebar-lebarnya. Pabrik-pabrik beroperasi sepanjang hari, menghasilkan barang-barang yang kita anggap sebagai kebutuhan. Orang-0rang hilir mudik, dan semuanya tampak sibuk.
Mengapa kita demikian sibuk, kawan? Apa yang kita cari? Harta benda? Uang, Uang Uang? Gengsi dan kehormatan kelas? Kenikmatan hidup atau hedonisme? Bukankah untuk mencapai tujuan sejati manusia-kebahagiaan-kita tidak butuh tetk bengek sebanyak itu? Bukankah semua yang kita anggap sebagai kebutuhan, sesungguhnya cuma prioritas terendah dari kehidupan yang sebenarnya?
kawan, suatu hari saya melihat seekor orang utan sedang duduk santai sambil makan sebuah pisang. Terlihat betapa sederhananya kehidupannya. Dia tak membutuhkan apa pun selain makanan, atap untuk berteduh, dan rasa aman bagi diri dan kelompoknya untuk mencari makan, beristirahat, dan beranak pinak.
Pernahkan engkau melihat seekor orang utan yang memerlukan sebuah mobil, rumah berikut kolam renang ukuran olympic, pergi ke salon perawatan? atau pernahkah engkau melihat seekor orang utan yang memerlukan komputer untuk akses internet, atau segala macam tetek bengek benda-benda yang kita anggap sebagai kebutuhan padahal sebenarnya tidak?
Kawan, jangan salah sangka. Saya tidak sedang mengajak Anda untuk menjadi orang utan, hidup cuma untuk ma kan dan berkembang biak. Saya cuma ingin kita coba merenung sejenak, mengapa dari hari ke hari kita selalu sibuk mencari nafkah, selalu tampak tergesa-gesa mengejar kesempatan, dan selalu tiada habis-habisnya memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tiba-tiba muncul untuk dipenuhi?
Renungkanlah, mengapa kita makin menjadi budak dari rutinitas kita sendiri. Pagi bangun bersiap-siap untuk kerja, sarapan dengan terburu-buru karena takut macet di jalan, kerja keras demi meningkatkan prestasi dan ujung-ujungnya demi uang yang lebih banyak lagi..., lebih banyak lagi.., dan lebih banyak lagi, untuk memenuhi segala macam kebutuhan yang muncul dengan tiba-tiba, merengek-rengek minta dipenuhi. Bukankah keadaan seperti ini tiada berbeda dengan kondisi seorang pecandu putauw?
Renungkanlah, mengapa dari hari ke hari kita makin menjadi budak dari keinginan kita sendiri. Didorong oleh segala macam godaan duniawi, kebutuhan semu yang diciptakan oleh iklan-iklan yang menampilkan gaya hidup semu oleh bintang-bintang yang juga semu, betapa makin kaburnya pengertian kita akan bedanya kebutuhan atas keinginan. Kebutuhan, kawan, ada batasnya. Tetapi keinginan, sayangnya, sampai saat ini belum ditemukan batasnya.
Kita bukan robot, kawan, dan kita bukan budak siapa pun. Jangan biarkan diri kita diperobot dan diperbudak oleh sesatnya nilai-nilai materialisme dan hedonisme. Jangan biarkan remote control diri kita berada di tangan tuan rutinitas, tuan materialisme, dan nyonya hedonisme. Mari kita bentengi diri kita dengan kebijaksanaan untuk dapat membedakan antaran keinginan dan kebutuhan.
Seperti kata Mahatma Gandhi: "High Thinking, Plain Living"
130501
Disadur dari Buku :" SENYUM DONG! Dunia Belum Kiamat Lho, Penulis : Chuang (2009)
0 comments:
Post a Comment