Pada zaman kekuasaan dinasti Bing (1368-1628) di negara tirai bambu, hiduplah seorang saudagar bernama Chan Ik Han. Ia merupakan orang yang pandai, tetapi memiliki jiwa yang serakah, licik dan irihati. Baginya uang adalah segalanya, apapun sanggup ia jual demi uang. Termasuk harga diri dan nama yang baik, bila perlu. Chan Ik H an ketika itu memiliki sebuah kilang penggilingan padi, dimana hasil sawah dan ladang para petani di desa itu ditampungnya dan diolah menjadi beras.
Para petani di desa tersebut hidup makmur disebabkan tanah yang subur dan usaha yang dilakukan mereka tanpa mengenal “lelah”. Menyaksikan kemakmuran para petani, Chan Ik H an yang telah kaya merasa irihati dan berpikir alangkah baiknya bila kemakmuran dari para petani itu dikoreknya. Maka sejak itu Chan Ik Han membeli hasil sawah dan ladang para petani dengan harga murah dan mengolahnya kemudian dijual dengan harga yang mahal. Disebabkan waktu itu hanya ia yang memiliki kilang penggilingan padi, maka ia dapat bertindak sesuka hatinya dengan meraup keuntungan sebesar-besarnya dari jerih payah dan keringat para petani. (Berbahagia di atas penderitaan makhluk lain).
Chan Ik Han yang kaya menjadi semakin kaya sehingga ia dikenal sebagai saudagar kaya yang serakah dna licik, tidak pernah memperdulikan nasib para petani yang miskin yang semakin miskin karena ulahnya yang tidak terpuji.
Tanah para petani yang bangkrut dibelinya dan kemudian ia sewakan kepada para petani dengan harga yang mencekik. Demikian sepak terjang Chan Ik Han yang tidak baik ternyata membumbung naik ke langit biru menembus awan hingga ke surga. Langit tidak akan merestui segala tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Seperti yang pernah dikatakan Sang Buddha :” Ia yang melanggar Dhamma karena bahwa nafsu, kebencian dan kebodohan. Nama baiknya akan menjadi suram. Bagaikan bulan sabit pada waktu gelap bulan.”
Pada suatu ketika, Chan Ik Han mengidap suatu penyakit aneh. Dimana tulang-tulang di tubuhnya sering mengalami kesakitan bagaikan dihujam seribu mata pedang. Sakit dan ngilu tulangnya membuat Chan Ik Han sangat menderita. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Telah banyak tabib yang dipanggilnya dengan bayaran mahal disebabkan hampir seluruh tabib disana mengetahui sifat Chan Ik Han. Dalam waktu singkat harta simpanan Chan Ik Han selama itu habis terkuras. Untuk biaya pengobatan penyakitnya. Ia mencoba mengakhiri hidupnya dengan melompat dari tebing yang tinggi di desanya karena putus asa kepada penyakitnya yang tak kunjung sembuh serta semua harta telah habis.
Ketika ia hendak melompat dari atas tebing yang tinggi dan curam, terdengar suara seseorang menggaung jauh dari jurang dibawahnya : “Penderitaan tak akan berakhir dengan kematian. Dengan berinstropeksi terhadap kesalahan sendiri, maka seseorang akan semakin dekat dengan kebijaksanaan. Hanya orang bijaksanalah yang dapt melihat dan menelusuri jalan mulia”.
Syair yang diucapkan seseorang itu bagaikan palu godam yang menghentak kesadaran Chan Ik Han yang terlena dengan materialistis selama ini. Semua bayangan kesalahan yang telah diperbuatnya melintas dibenaknya. Airmata penyesalan pun mengalir membasahi kedua pelupuk matanya. Ia bersimpuh menghadap langit dan berjanji akan merubah kesalahannya selama ini.
Sejak saat itu Chan Ik Han merubah sifat buruknya dengan menjalankan usahanya secara jujur dan meraup keuntungan yang sewajarnya. Para petani miskin diberi kesempatan menggarap tanahnya tanpa diambil sewa dengan hasil sawah dibagi seadil-adilnya. Penyakit yang dideritanya pun berangsur sembuh dan Chan Ik Han hidup dalam dami dan bahagia, karena ternyata sifat yang telah diubahnya lebih disenangi khayalak ramai.
Pembaca yang bijaksana, tempat dan tujuan tidak akan pernah dicapai apabila kita tak pernah memulai suatu perjalanan. Kembali kepada kita bertapak di jalan yang mulia atau di jalan yang tidak terpuji. Demikianlah pesan dari para ariya.
Dhammapada Atthakatha Syair 117
Apabila seseorang berbuat jahat, hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu.
Sungguh menyakitkan akibat dari menumpuk perbuatan jahat.
Bacaan diambil dari buku Moralitas edisi 7.
0 comments:
Post a Comment