Oleh Ajahn Brahm
Beberapa tahun yang lampau, seorang wanita muda Australia datang menemui saya di wihara saya di Perth. Para bhikkhu memang sering dimintai nasihat untuk masalah-masalah umat, barangkali karena kami tidak pernah minta bayaran. Wanita ini datang dengan rasa bersalahnya. Enam bulan sebelumnya, dia mengajak sahabat dan pacar sahabatnya untuk berpergian naik mobil ke padang rumput. Sahabatnya tidak ingin pergi, begitupun pacarnya, tetapi tak asyik rasanya kalau main sendirian saja. Jadi dia membujuk dan merengek sampai akhirnya mereka menyerah dan bersedia pergi bersama-sama.
Lalu terjadilah kecelakaan: mobil mereka tergelincir di jalan batu yang longsor. Sahabatnya tewas, pacar sahabatnya lumpuh. Itu adalah gagasannya, tetapi dia sendiri selamat. Dia bercerita kepada saya dengan duka di matanya : "Kalau saja saya tidak memaksa mereka untuk pergi, sahabat saya pasti masih hidup dan pacarnya tidak akan kehilangan kaki. Seharusnya saya tidak membuat mereka pergi dengan saya. Saya merasa sangat bersalah."
Pikiran pertama yang melintas di benak saya adalah untuk menenangkannya bahwa itu semua bukan salahnya. Dia tidak merencanakan untuk mengalami kecelakaan itu. Dia tidak berniat menyakiti sahabatnya. Semuanya sudah terjadi. Jangan merasa bersalah. Namun, pikiran berikutnya yang melintas adalah, Berani taruhan dia pasti sudah mendengar nasehat semacam itu, ratusan kali dan tampaknya tidak mempan.
Jadi saya diam sejenak, merenungkan situasinya lebih dalam, lalu saya katakan kepadanya bahwa bagus juga kalau dia merasa begitu bersalah. Wajahnya berubah dari sedih menjadi terkejut, dan dari terkejut menjadi lega. Dia belum pernah mendengar perkataan seperti itu sebelumnya : bahwa dia semestinya merasa bersalah. Dugaan saya benar. Dia merasa bersalah akan perasaan bersalahnya. Dia merasa bersalah dan setiap orang bilang bahwa dia tidak boleh merasa bersalah. Karena itu, dia merasa dua kali bersalah, merasa bersalah karena kecelakaan itu dan merasa bersalah atas perasaan bersalahnya. Begitulah cara kerja pikiran kita yang ruwet ini.
Hanya ketika kita telah mengatasi lapisan pertama perasaan bersalahnya dan menegaskan bahwa tidak apa-apa kalau dia merasa bersalah, barulah kita bisa melanjutkan ke tahap berikut pemecahan masalahnya : "Lalu Sekarang bagaimana?"
Ada pepatah Buddhis yang sangat membantu : "Daripada mengeluhkan kegelapan, lebih baik menyalakan lilin." Perasaan bersalah pada hakikatnya berbeda dengan penyesalan. Didalam kebudayaan kita, "bersalah"adalah keputusan yang diketok-palukan oleh hakim pengadilan. Dan jika tak ada seorang pun yang menghukum kita, kita akan menghukum diri sendiri, dengan satu dan lain cara. Perasaan bersalah berarti hukuman di dalam batin kita.
Jadi, wanita muda ini memerlukan suatu kiat pengampunan untuk membebaskannya dari perasaan bersalah. Sekadar memberitahukannya untuk melupakan apa yang terjadi tampaknya tak berkhasiat. Saya menyarankannya untuk menjadi relawan disebuah unit rehabilitasi korban kecelakaan lalu lintas di rumah sakit setempat. Karena di sini, saya pikir, dia akan menanggalkan rasa bersalahnya dengan bekerja keras dan juga seperti yang biasanya terjadi pada kerja sukarela, dia akan sangat terbantu oleh orang-orang yang dibantunya.
Sumber :
Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
108 Cerita Pembuka Pintu Hati
Oleh Ajahn Brahm
0 comments:
Post a Comment